Kamis, 01 Desember 2016

KABAR ANGIN

Kabar Angin
Embun pagi meneteskan setiap titik kerinduan
Udara yang berhembus mengiris serpihan-serpihan sunyi
Namun dalam sadar
Iklim cinta ini tak layak ku tebar
Seiring sahajamu perlahan memudar
Bak angin dan dedaunan yang saling menunggu kabar
Daun-daun rindu yang tak pernah lelah menunggu
Menanti nyanyian syahdu
Namun kabar angin perlahan berlalu
Seiring detik waktu yang terus melaju
Tita Herdila, November 2014

jalan titik hitam

jalan titik hitam

dulu kau bawa awan di langit biruku
pelangi kau berikan kepadaku tanpa rasa ragu
kemudian aku tersipu malu
saat kau membantuku untuk menerangi sang waktu
seperti lemah dengan keadaan
petir dan badai kau lukiskan dalam kelembutan
kau pecahkan kehangatan karna dibutakan oleh angin musiman
dan kemudian aku sampaikan penyesalan menuju kepada titik hitam.
Irfan M Ramdani
30/10/14

PEMUDA NKRI

pemuda nkri

saat genderang perang mati
suara senapan berhenti
darah sang pemberani telah menjadi bukti
tanah air merupakan saksi
jejak kaki di warnai patriotisme tinggi
membangkitkan raungan bumi pertiwi
menumbuhkan kuku tajam nkri 
dengan dada membusung kami lontarkan janji
ini indonesia kami
nusantara harta kami
di ujung tombak kami tumpahkan seluruh nyali
untuk memikul nkri menuju tahta di atas negri-negri
Irfan M Ramdani
31/10/14

PUISI TAHUN BARU

PUISI TAHUN BARU

senja mengundang tawa
meskipun aku harus membuang kalender lama
langit terus mengeluarkan tangisan
karna terus-menerus di hantam oleh petasan

semua oarang menantikan tengah malam
berebut posisi terdepan untuk melihat pesta kembang api di akhir pekan
api menjadi teman
untuk membantu manusia menyerang awan selama satu malam

lembar baru mulai aku tulis dengan banyak harapan
menutupi segala kepedihan yang terjadi dimasa lampau
berbenah diri harus dimulai dari sekarang
bahagia lahir dan batin yang harus di prioritaskan oleh semua orang,



Irfan M Ramdani
31-12-14
UNIV.SURYAKANCANA
CIANJUR

CERPEN : KENAPA MESJID, AIRA ?



Nama : latifah
  III A PBSI
“kritik Sastra”

Kenapa mesjid, aira?
Sepertinya tak ada hal yang dapat membahagiakan hari-harinya. Setiap melihatnya pasti  bibirnya  cembrut, ia jarang sekali tersenyum, raut wajahnya kusut, pandangan matanya sinis, setiap bertemu dengan orang lain, sekalipun ia mengenalnya, sangat sulit ia sapa. Enggan basa-basi layaknya perempuan ramah. Dini namanya.
Siangnya, Sinar mentari sangat menyerang setiap kepala membuat mereka mengerutkan kelopak matanya, terompet klakson diparkiran lagi-lagi memenuhi telingaku, hilir mudik mahasisiwa menambah bising kepalaku, ya. kuputuskan nongkrong  di kantin saja.
“Kemana aira?”
“ Kesini din,ke mesjid”.
Jawabnya sambil jalan setengah lari, matanya tanpa melirikku. Entah kenapa dahiku mengerut seketika, dan berpikir sejenak.
   aneh anak itu disaat sibuk seperti ini saja masih pergi ke mesjid”.
Esok harinya, hari rabu, pagi itu aku terbangun dengan guyuran air ember dan semprotan ceramahan,  hadiah menyeramkan  dari bapakku. kubuka perlahan kelopak mataku dan kuusap muka yang sudah basah kuyup itu. Dan akhirnya aku kesiangan ngampus, ini gara-gara semalaman gadang sama teman, ternyata pintu kelas sudah ditutup oleh penguasa yang tak lagi menerima mahasiswa lena.
” Tak apa, seperti biasa ke kantin saja.”
Ujarnya tanpa rasa sedikitpun bersalah. Ia berjalan dengan wajah cembrut  seperti biasanya, tiba-tiba ia terpeleset di depan orang banyak, sampai di mereka ketawa ngakak.
“Ah, dasar rabu sial”.
Katanya, sambil melanjutkan jalannya dan menendang aqua kosong yang berada di depan sepatunya. Tanpa terkira aqua itu terdampar  diteras mesjid. Dan kulihat wanita berhijab dengan wajah bersinar, matanya sejernih embun, pribadinya anggun dan  ramah, membuat   hati kita terbawa  tenang, dan itu khumaira ternyata. Ia sedang duduk diteras sambil memakai sepatu, ia tersenyum tulus,  dan menyimpan aqua itu ke tempat sampah.
***
 Tuhan, inikah jawabannya, bila kutak menemui rumah-Mu?.